MasyarakatKelistrikan.com | Dalam beberapa waktu terakhir ini, pemerintah terus menggencarkan transisi energi dari energi fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT). Transisi tersebut, terutama dilakukan di sektor kelistrikan.
Widhyawan Prawiraatmadja, Pengamat Energi yang juga mantan Gubernur Indonesia di OPEC, mengungkapkan salah satu tantangan dalam mempercepat ketersediaan pembangkit EBT adalah justru PLN yang saat ini sedang terbebani berbagai persoalan. Salah satunya adalah reserve margin atau kelebihan pasokan listrik.
Baca Juga:
Gelar Naker Expo, Kemnaker Sediakan Puluhan Ribu Lowongan Pekerjaan di Tiga Kota
Menurut dia, sebenarnya kelebihan pasokan atau ketersediaan daya listrik yang tinggi tidaklah salah. Ia mencontohkan di Singapura reserve marginnya mencapai 100 persen. Bedanya ada klausul yang memberatkan PLN dalam perjanjian jual beli listrik, yakni ketentuan Take or Pay.
“Ada satu isu reserve margin tinggi, kapasitasnya lebih kalau menurut saya kalau reserve 60 persen tidak apa-apa juga. Singapura saja 100 persen. Cuma jangan sampai ini dibebankan ke PLN,” kata Wawan dalam diskusi internal akhir pekan lalu di Jakarta.
Dia menuturkan jika kondisi yang ada sekarang terus berlanjut maka kemampuan PLN untuk menyerap listrik EBT maupun membangun pembangkit listrik EBT juga akan terbatas. Menurut Wawan apa yang terjadi sekarang bukanlah kesalahan PLN untuk itu sudah sepatutnya harus ada kebijakan dari pemerintah yang membantu PLN.
Baca Juga:
Sudinkes Jakarta Barat Ingatkan Rumah Sakit Terus Terapkan Pelayanan Berbasis Hospitality
“Take or pay ke PLN ini tidak fair karena ini bukan kesalahan PLN jadi kalau bisa dibantu akselerasi bisa masuk cepat EBT cepat apalagi dengan harga fosil tinggi capital cost relatif lebih rendah EBT,” ujarnya.
Untuk itu neagra harus turun tangan kembali memberikan bantuan ke PLN apabila memang mau mengejar implementasi EBT. “Coba aja tanya PLN dia beban makin berat itu yang masalah kalau ngga dibantu, nggak bisa PLN dibantu dulu kalau negara ini mau lebih cepat EBT-nya, jelas Wawan.
Pemerintah dan PLN dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) terbaru sudah sepakat akan memperbanyak penyediaan pembangkit EBT ketimbang pembangkit fosil.
Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan target penambahan kapasitas pembangkit listrik hingga tahun 2030 mencapai 40,6 Gigwatt (GW). Untuk mencapai target tersebut pemerintah dan PLN sepakat akan dipenuhi sebagian besar oleh swasta atau Independent Power Producer (IPP).
“RUPTL PLN 2021-2030 saat ini merupakan RUPTL lebih hijau atau greener karena porsi penambahan pembangkit EBT lebih besar daripada pembangkit fosil,” ungkap Arifin.
Pembangkit EBT yang akan didorong lebih besar yakni PLTA, PLTM dan PLTMH. Adapun porsinya mencapai 25,6 persen dengan kapasitas 10.391 Megawatt (MW). Kemudian PLTB mendapat porsi 1,5 persen atau sebesar 597 MW. PLT Bio mendapat porsi 1,5 persen atau sebesar 590 MW.
PLTP mendapat porsi 8,3 persen atau sebesar 3.355 MW. PLTS mendapat porsi 11,5 persen dengan kapasitas 4,6 ribu MW. PLT EBT Base mendapat porsi 2,5 persen atau 1.010 MW dan battery energy storage system (BESS) dengan porsi 0,7 persen atau 300 MW.
Selain itu, pemerintah juga menggenjot pengembangan panas bumi. Targtenya, porsi PLTP bisa mencapai 8,3 persen dalam bauran energi dengan total kapasitas 3,3 ribu MW. [aas]