MasyarakatKelistrikan.com | Listrik yang menjangkau Kota Solo di masa lalu membawa dampak besar di segala lini. Termasuk pula munculnya aktivitas di malam hari, seperti pasar malam, hiburan Sriwedari, dan tentunya wedangan atau angkringan yang sudah menjadi sebuah budaya di Solo.
Masuknya listrik di Solo tidak terlepas dari pendirian perusahaan listrik pertama di wilayah Keraton Kasunanan Surakarta, yaitu Solosche Electriciteit Maatschappij (SEM). Perusahaan itu berdiri pada 1901.
Baca Juga:
Waspada Banjir, Ini Tips Amankan Listrik saat Air Masuk Rumah
"Pendirian SEM ini didukung pemerintah lokal. Bahkan Raja Keraton Surakarta saat itu, Pakubuwono X menghibahkan tanah di Purwosari sebagai kantor SEM yang kini dipakai kantor PLN," kata sejarawan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Susanto, Rabu (24/11/2021).
Perusahaan ini mampu berkembang baik, antara lain karena jarak pabrik-pabrik dan perkebunan di Solo saling berdekatan. Ditambah lagi karena SEM tidak punya saingan perusahaan listrik.
"Sebenarnya Mangkunegara VII pernah mendirikan PLTA di Tawangmangu karena merasa pasokan listrik masih kurang. Tapi ada kontestasi politik di sini, pemerintah kolonial mencabut izin operasinya," ujar dia dikutip dari Detikcom.
Baca Juga:
Era Energi Terbarukan, ALPERKLINAS: Transisi Energi Harus Didukung Semua Pihak
Dalam buku Jejak Listrik di Tanah Raja (2021) karya Eko Sulistyo, ditulis bahwa sumber listrik di Solo saat itu berasal dari Tuntang, Kabupaten Semarang, yang dibangun Algemeene Nederlandsch-Indische Electriciteits-Maatschappij (ANIEM) dan beroperasi 1913. Perusahaan ini mengembangkan PLTA di Jelok, Tuntang pada 1938.
"Saya masih teringat bagaimana nenek dan kakek saya, serta orang tua kita dulu, terutama yang tinggal di Jawa Tengah menyebut hal yang terkait listrik dengan sebutan ANIEM, seperti gardu aniem, cagak (tiang) aniem, kabel aniem atau lampu aniem," tulis Eko yang merupakan anggota Dewan Komisaris PT PLN.
Tentu listrik saat itu banyak melayani kerajaan, keluarga bangsawan dan para saudagar. Namun listrik pun digunakan untuk fasilitas umum, seperti penerangan jalan, pasar hingga tempat-tempat hiburan.
Dalam buku tersebut banyak digambarkan situasi kota dengan masuknya listrik. Misalnya Pasar Gede dengan tiang-tiang listrik di sekitarnya, pernikahan bangsawan di istana yang penuh dengan lampu hias, gapura Pura Mangkunegaran yang dihiasi ornamen lampu berbentuk pasukan legiun.
Pada awalnya, masyarakat kecil masih heran dengan adanya lampu tersebut. Bahkan mereka menyebutnya sebagai 'lampu setan'.
"Maklum, dalam wilayah pegunungan di sekitar Surakarta yang belum tersentuh listrik, masyarakatnya masih heran dengan lampu yang bisa menyala sendiri, tidak perlu diisi minyak patra dan gas. Mereka seakan-akan memahami lampu yang menyala itu adalah ulah setan atau makhluk gaib," kata Eko.
Adanya penerangan di pusat kota kemudian menggairahkan perekonomian masyarakat hingga muncul budaya baru, seperti nglembur atau kerja lembur bagi pekerja atau perajin batik. Muncul pula tempat-tempat hiburan seperti bioskop layar tancep di Pasar Pon yang menghadirkan film Charlie Chaplin dan lain-lain.
Selain itu, muncul pula pasar malam hingga hiburan kesenian di Sriwedari. Hal ini pun menarik kedatangan warga masyarakat dari pinggiran ibu kota Surakarta untuk turut menikmati gemerlapnya malam di Solo.
Ramainya masyarakat yang datang di Solo, membuat orang banyak mengais rezeki di seputaran tempat hiburan tersebut. Di antaranya ialah penjaja wedangan yang berhenti di tepi jalan atau ujung gang sambil menunggu pembeli datang.
"Mereka rata-rata berasal dari pinggiran Surakarta, khususnya Klaten. Bayat (daerah di Klaten) adalah awal mula pemasok pedagang angkringan," tulis Eko.
Keramaian itu terus berlangsung dari malam hingga pagi hari, sehingga Solo dibilang sebagai kota yang tidak pernah tidur. Dan ternyata budaya wedangan tersebut masih terus berlangsung di Solo hingga seabad ini.
Tahun semakin berlalu, listrik pun berkembang dan digunakan untuk transportasi, seperti trem listrik. Kemudian juga media komunikasi seperti kehadiran radio, Solosche Radio Vereeniging (SRV).
Keruntuhan masa kolonial kemudian dilanjutkan pemerintahan Jepang, termasuk dalam pengelolaan listrik. Setelah masa kemerdekaan, ANIEM dan perusahaan listrik lainnya berpindah ke tangan pemerintah Republik Indonesia yang kini bernama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). [Tio]