MasyarakatKelistrikan.WahanaNews.co | Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengungkapkan berbagai strategi dalam menghadapi tantangan keselarasan antara transisi dan kebutuhan energi.
Menurutnya, untuk mencapai aspirasi Net Zero Emission (NZE) sekaligus menjaga ketahanan energi di Indonesia, PT Pertamina telah menyusun strategi komprehensif yang disampaikan melalui dua pilar utama dan 3 implementasi menengah.
Baca Juga:
Pertamina Patra Niaga Salurkan Bantuan ke 7 Posko Erupsi Gunung Lewotobi
Dua pilar utama tersebut yakni bergerak fokus mengenai dekarbonisasi kegiatan bisnis, dan pengembangan bisnis hijau energi terbaurkan.
“Sedangkan tiga strategi jangka menengah yang mendukung rencana menggerakkan Net Zero Emission adalah mengembangkan standar penghitungan karbon yang telah memenuhi standar nasional dan internasional. Kemudian pelibatan pemangku kepentingan untuk mendukung penuh target dan komitmen NZE nasional.”
“Tujuan ini didukung oleh strategi investasi jangka panjang dari Pertamina. Selanjutnya adalah inisiatif bisnis keberlanjutan ramah lingkungan Pertamina akan difokuskan pada Biofuels, sumber energi terbarukan, Sistem Penangkapan Karbon (CCS/CCUS), baterai serta mobil listrik, hidrogen, dan bisnis karbon sendiri,” papar Nicke.
Baca Juga:
Pertamina Manfaatkan Potensi Alam untuk Serap Karbon Lewat Dua Inisiatif Terintegrasi
Hal ini disampaikan Nicke dalam diskusi “BloombergNEF (BNEF) Net Zero Summit” rangkaian dari B20, yang digagas oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi serta The Asia Natural Gas and Energy Association (ANGEA).
Chair of Task Force Energy, Sustainability and Climate Business 20 (TF ESC-B20) ini juga mengatakan, bahwa perubahan selalu terjadi dengan peradaban yang semakin pesat, energi harus mengejar kebutuhan yang ada untuk kehidupan masyarakat banyak.
Ia juga menjelaskan bahwa proses keberlangsungan transisi energi haruslah terjadi, agar keberlanjutan tetap terjaga.
“Namun, proses transisi energi tidaklah dapat dicapai dengan singkat. Karena membutuhkan berbagai macam teknologi, biaya serta sumber daya manusia yang mampu memenuhi standar pemenuhan kebutuhan energi terbarukan,” jelasnya.
“Sementara, ketika proses transisi terjadi permintaan akan kebutuhan energi turut meningkat, sehingga ketahanan energi skala besar tetap harus dijaga,” sambung Nicke.
Lebih jauh ia mengatakan, Pertamina juga telah mengembangkan strategi untuk mendukung transisi energi dengan mengalokasikan biaya modal (capex) untuk energi rendah emisi dan pengembangan EBT.
“Kami telah menetapkan tujuan untuk meningkatkan porsi Bisnis Hijau dalam bauran pendapatan Pertamina dari 5 persen pada tahun 2022 menjadi 13 persen pada tahun 2030,” tegas Nicke saat menjelaskan detail mengenai porsi biaya modal untuk energi hijau.
Secara prediksi, kata dia, pendapatan dari bahan bakar fosil diperkirakan akan menurun secara signifikan dari 86 persen pada tahun 2022 menjadi 66 persen pada tahun 2040.
Tujuan dari optimisme alokasi modal tersebut telah dikoordinasikan dengan pemerintah Indonesia, dan memastikan bahwa hal tersebut telah selaras dengan target bauran energi Indonesia untuk energi baru terbarukan.
“Untuk mengimbangi pembiayaan, Pertamina juga telah meramu strategi investasi jangka panjang yang terdiri dari 14 persen Capex untuk aksi bisnis energi hijau, selain itu, Pertamina terus melanjutkan investasi pada bahan bakar fosil dan petrokimia sebagai tulang punggung bisnis saat ini, dalam upaya memastikan bahwa transisi energi tidak akan mengganggu ketahanan energi,” jelasnya.
Selain strategi penyertaan modal, lanjut Nicke, Pertamina juga berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk percepatan capaian target.
Kolaborasi diperlukan, dalam menghadapi tantangan yang sama selama transisi energi, terutama dalam teknologi dan pembiayaan.
“Biaya teknologi masih lebih tinggi daripada bahan bakar fosil. Itu sebabnya, kami terbuka untuk kemitraan dan kolaborasi, untuk mendorong inovasi dan menurunkan biaya teknologi,” jelas Nicke.
Upaya kolaborasi digencarkan sebab saat ini penggunaan teknologi dalam energi baru terbarukan masih membutuhkan biaya mahal, sehingga harga jual kepada konsumen masih cukup tinggi.
Dalam menekan biaya operasional tersebut, masalah pembiayaan, diharapkan akan lebih banyak menarik investasi masuk, baik internasional maupun domestik, guna meningkatkan mekanisme pembiayaan global mendukung proyek transisi energi dan dekarbonisasi. [Tio]