MasyarakatKelistrikan.com | PT Pertamina (Persero) baru saja menaikan harga bahan bakar umum jenis Pertamax dari Rp 9.000 per liter menjadi Rp 12.500 perliter per tanggal 1 April 2022 kemarin.
Kenaikan tersebut merupakan langkah yang tepat mengingat naiknya harga minyak dunia yang sudah sangat tinggi jika dibandingkan dengan harga minyak dunia tahun 2021, disisi lain harga minyak merupakan faktor utama pembentukan harga BBM.
Baca Juga:
Pertamina Patra Niaga Salurkan Bantuan ke 7 Posko Erupsi Gunung Lewotobi
Namun menurut Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan, meskipun mengalami kenaikan harga BBM di Indonesia masih jauh lebih murah jika dibandingkan dengan negara lain.
“Harga BBM di Indonesia jauh lebih murah jika di bandingkan dengan negara lain. Mengacu kepada Global Petrol Price, harga BBM di Singapura adalah Rp 30.208 per liter, Laos Rp 24.767, Filipina Rp 20.828, Kamboja Rp 20.521, Thailand Rp 19.767, Vietnam Rp 18.647, Indonesia Rp 16.500 dan Malaysia Rp 6.965,” kata Mamit dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Sabtu (09/4/2022).
Menurut Mamit, harga di Malaysia terlihat lebih murah karena menerapkan subsidi Automatic Pricing Mechanism (APM) yang berfungsi untuk menstabilkan harga bensin seperti bensin RON 95, RON 97 dan solar sampai batas tertentu melalui pemberlakuan pajak penjualan dan subsidi dalam jumlah yang bervariasi.
Baca Juga:
Pertamina Manfaatkan Potensi Alam untuk Serap Karbon Lewat Dua Inisiatif Terintegrasi
“Oleh karenanya, perubahan harga eceran dipengaruhi oleh besaran pajak dan subsidi dalam batas tertentu sesuai kebijakan yang ditetapkan pemerintah Malaysia. Selain itu, jalur distribusi di Malaysia jauh lebih mudah jika dibandingkan dengan Indonesia yang merupakan negara kepulauan,” urai Mamit.
Lebih jauh ia mengatakan, saat ini harga minyak secara global memang mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
Hal ini karena harga minyak dunia yang terus naik dimana salah satu persoalannya ada konflik Rusia-Ukraina yang belum juga selesai hingga embargo yang dilakukan negara Barat terhadap produk migas milik Rusia. Sedangkan Rusia memasok 11,4% dari total kebutuhan minyak dunia.
“Sebagai contoh, harga BBM di Hongkong mencapai Rp 36.176 per liter, Jerman Rp 34.454 per liter, Italia Rp 34.310 per liter, dan Yunani Rp 32.733 per liter. Jadi, sudah sewajarnya Pertamina menyesuaikan harga BBM Umum mereka,” kata Mamit.
Selain itu, lanjut Mamit, kenaikan harga Pertamax RON 92 masih jauh lebih murah jika dibandingkam dengan SPBU Swasta lainnya. Sebagai perbandingan, harga BBM RON 92 yang di jual Shell hari ini berada di Rp 16.500, Vivo Rp 12.900, dan BP-AKR Rp JBB. 12.990 sementara Pertamax masih Rp 12.500 per liter, dengan demikian Pertamina masih harus menanggung selisih harga dengan tetap menjaga daya beli masyarakat.
“Apa yang dilakukan oleh Pertamina dengan tidak menyentuh faktor psikologis konsumen Pertamax yaitu di harga Rp 15.000-Rp 16.000 per liter sudah tepat. Dengan demikian, hal ini bisa menghindari terjadinya migrasi besar-besaran ke Pertalite mengingat saat ini Pertalite merupakan jenis bahan bakar khusus penugasan (JBKP),” paparnya.
Mamit pun memperkirakan migrasi hanya di 20%-25%, itupun saat di awal kenaikan Pertamax. Setelahnya konsumen akan beralih kembali ke Pertamax mengingat konsumen Pertamax ini segmented masyarakat golongan menengah ke atas yang paham akan manfaat dari BBM ron tinggi.
“Seperti pengalaman pribadi saya saat menggunakan Pertalite kok mesin performancenya berkurang. Mesin bunyi “ngelitik”, lebih sering ke SPBU dan pas service jadi lebih banyak yang di ganti. Akhirnya saya kembali menggunakan Pertamax karena dari apa yang saya keluarkan saat menggunakan Pertalite sama saja saat menggunakan Pertamax,” pungkas Mamit. [Tio]