MasyarakatKelistrikan.com | Uap air panas, yang mengepul dari cerobong, seolah membungkus hampir seluruh areal pembangkit, Senin (4/10/2021) pagi itu.
Para petugas, lengkap dengan alat pelindung diri, lalu lalang di bawah kepulan uap yang perlahan lenyap terurai di angkasa.
Baca Juga:
Lima Pimpinan Baru KPK Ditetapkan, Setyo Budiyanto Jadi Ketua
Aroma gas beracun hydrogen sulfida menyengat, menembus masker berlapis.
Putaran turbin dan generator seakan memekakkan telinga.
Mengenakan masker, sepatu bot, helm, serta tangan menggenggam alat pendeteksi hydrogen sulfida, Soniawan Temor (33) berjalan menuju sebuah ruang bawah tanah.
Baca Juga:
Penjualan Anjlok, Pizza Hut Indonesia Tutup 20 Gerai dan Pangkas 371 Karyawan
Ia masuk mengontrol sambungan ujung pipa berukuran 25 inci.
Pipa itu mengalirkan uap bersuhu 180 derajat celcius yang terus menekan dari perut bumi di bawah sana, pada kedalaman 878,6 meter.
Sambungan yang bernama kepala sumur itu dilewati 88 ton uap panas setiap jam.
Dari ujung kepala sumur, uap disalurkan menuju turbin di Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu di Pulau Flores, tepatnya Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Pembangkit itu berdiri di Desa Wewo, Kecamatan Satarmese, sekitar 26,4 kilometer arah tenggara Ruteng, ibu kota Manggarai.
Lokasi itu berada di kawasan perbukitan, pada ketinggian 621 meter di atas permukaan laut.
Selama delapan jam kerja per hari, Temor harus memeriksa kepala sumur setiap satu jam.
“Titik ini termasuk dengan risiko paling tinggi, makanya dipantau secara intensif,” ujarnya yang bertugas sejak tujuh tahun silam itu.
Tingginya risiko itu lantaran sumur dan pembangkit berada dalam satu areal.
Jarak antara sumur dengan pembangkit kurang dari 25 meter.
Sekedar membandingkan, ada PLTP lain di Indonesia yang jarak antara sumur dan pembangkit hingga berkilo-kilo meter.
Sumur uap panas itu pertama kali dibor pada tahun 1994 dan menyuplai uap air panas untuk pembangkit mulai tahun 2012 lalu.
Uap panas digunakan untuk menggerakkan turbin.
Perputaran turbin disambungkan untuk menggerakan generator yang berfungsi mengubah energi gerak menjadi energi listrik.
Di Ulumbu terdapat empat pembangkit dengan masing-masing dua pembangkit berada dalam satu gedung.
Di sana terdapat tiga sumur, namun baru satu yang beroperasi, yakni Sumur ULB-2.
Dua sumur yang lain masih sedang dalam pengembangan dan penelitian lanjutan.
Sumur ULB-1 dengan kedalaman 1.887,4 meter dan Sumur ULB-3 dengan kedalaman 951 meter.
Belum ada kepastian, kapan dua sumur itu sudah bisa beroperasi untuk menambah pasokan listrik.
Saat ini daya pembangkit di PLTU itu 4 X 2,5 megawatt.
Untuk pembangkit 1 dan 2 berada dalam satu gedung yang sama.
Pengoperasiannya menggunakan back pressure system.
Pada sistem ini, uap panas yang setelah digunakan menggerakkan turbin, langsung dibuang ke alam melalui cerobong.
Di dalam uap panas itu terdapat berbagai unsur berbahaya termasuk hydrogen sulfida.
Sementara pembangkit 3 dan 4 menggunakan condensed system.
Pada sistem ini, uap air tidak dibuang ke udara, namun dibuat sistem pegolahan yang mengubah uap air menjadi titik air.
Air itu didinginkan kemudian dipakai untuk mendinginkan peralatan di pembangkit yang bekerja tanpa henti selama 24 jam per hari.
Bahaya Hydrogen Sulfida
Devin Tatengkeng, Staf Senior pada Divisi Kesehatan, Keselamatan Kerja, dan Lingkungan PLTP Ulumbu, dalam penjelasannya kepada pengunjung, mengatakan, bahaya utama bagi para petugas adalah gas beracun hydrogen sulfida.
Kendati secara umum gas beracun itu masih jauh di bawah ambang batas, petugas tidak boleh lengah.
Setiap mereka yang bertugas di areal dibekali dengan alat pendeteksi hydrogen sulfida.
Sepanjang waktu, mereka harus memantau kadar yang terdeteksi.
Selain alat yang dipegang petugas, di areal tersebut terpasang 13 alat pendeteksi.
Jika ambang batas melebihi 10 part per milion (ppm), alat itu akan mengirim sinyal bahaya ke ruang kontrol dan pos sekuriti.
Alarm tanda bahaya akan berbunyi.
Hydrogen sulfida berbahaya bagi kesehatan manusia.
Jika kadarnya di udara antara 0,01 sampai 0,1 ppm dapat menyebabkan penciuman terganggu, lalu 0,1 sampai 1,0 ppm dapat merusak penciuman, kemudian 1,0 sampai 10 ppm menyebabkan mata pedih, 10 sampai 150 ppm merusak mata, 150 sampai 300 ppm selama 4 jam menyebabkan pendarahan, hingga 900 sampai 1.400 ppm selama satu jam dapat menyebabkan orang meninggal dunia.
Devin menuturkan, hydrogen sulfida yang keluar dari pembangkit langsung terurai di angkasa kemudian perlahan hilang.
Namun, faktor eksternal, seperti hujan, dapat memperlambat proses penguraian itu.
Ia punya pengalaman, tahun 2012 nyaris pingsan akibat terpapar hydrogen sulfida.
Setelah diperiksa, kondisinya sehat.
“Saat itu saya langsung minum susu satu kaleng tanpa campur air. Kemudian saya minum lagi air kelapa muda,” katanya, mengenang.
Selain bahaya hydrogen sulfida, longsor juga mengancam areal pembangkit tersebut.
PLTP Ulumbu berada di tebing terjal yang rawan longsor.
Pada awal April 2021, ketika seluruh wilayah Nusa Tenggara Timur dilanda Badai Seroja, terjadi longsor di sisi lokasi pembangkit.
Kontur tanah di daerah itu tergolong rawan amblas.
Petugas diminta selalu waspada ketika terjadi hujan dengan intensitas tinggi selama lebih dari dua hari.
Kepala Teknik Panas Bumi Wilayah Kerja Panas Bumi Ulumbu, Haryadi, mengatakan, hingga Senin (4/10/2021), PLTU Ulumbu telah beroperasi selama 1.027.997,87 jam.
Selama itu pula, tidak terjadi satu kali pun insiden.
“Setiap tempat kerja, termasuk di sini tentu memiliki risiko. Namun, semua itu sangat tergantung pada tingkat kepatuhan kita terhadap prosedur keselamatan yang sudah diatur,” kata Haryadi, yang juga petugas paling senior di PLTP Ulumbu.
Secara periodik, lanjut Haryadi, semua petugas diperiksa kesehatannya untuk mengetahui kondisi mereka.
Sejauh ini, tidak ada di antara mereka yang menurut rekam medis mengalami gangguan penglihatan atau pernapasan yang diduga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan kerja mereka.
Manager PLN Unit Pelaksana Pembangkitan Flores, Lambok Siregar, menambahkan, banyak orang tidak tahu seperti apa pekerjaan mereka yang berada di balik teralirnya arus listrik dari sumber pembangkit hingga ke rumah penduduk.
Memang tak mudah bekerja di areal pembangkit dengan tingkat risiko tinggi.
Ke depan, akan banyak lagi PLTP yang berdiri di Pulau Flores yang telah ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi.
Mereka, para petugas, setia berada di sana.
Siang malam, hujan angin, panas dingin.
Mereka menjaga pasokan listrik sebesar di pembangkit itu, agar terus menyala, menerangi Pulau Flores.
Mereka penjaga energi yang bekerja dalam ancaman bahaya hydrogen sulfida dan longsor yang terus mengintai.
Salut untuk pengabdian mereka. [aas]