Dalam buku tersebut banyak digambarkan situasi kota dengan masuknya listrik. Misalnya Pasar Gede dengan tiang-tiang listrik di sekitarnya, pernikahan bangsawan di istana yang penuh dengan lampu hias, gapura Pura Mangkunegaran yang dihiasi ornamen lampu berbentuk pasukan legiun.
Pada awalnya, masyarakat kecil masih heran dengan adanya lampu tersebut. Bahkan mereka menyebutnya sebagai 'lampu setan'.
Baca Juga:
Waspada Banjir, Ini Tips Amankan Listrik saat Air Masuk Rumah
"Maklum, dalam wilayah pegunungan di sekitar Surakarta yang belum tersentuh listrik, masyarakatnya masih heran dengan lampu yang bisa menyala sendiri, tidak perlu diisi minyak patra dan gas. Mereka seakan-akan memahami lampu yang menyala itu adalah ulah setan atau makhluk gaib," kata Eko.
Adanya penerangan di pusat kota kemudian menggairahkan perekonomian masyarakat hingga muncul budaya baru, seperti nglembur atau kerja lembur bagi pekerja atau perajin batik. Muncul pula tempat-tempat hiburan seperti bioskop layar tancep di Pasar Pon yang menghadirkan film Charlie Chaplin dan lain-lain.
Selain itu, muncul pula pasar malam hingga hiburan kesenian di Sriwedari. Hal ini pun menarik kedatangan warga masyarakat dari pinggiran ibu kota Surakarta untuk turut menikmati gemerlapnya malam di Solo.
Baca Juga:
Era Energi Terbarukan, ALPERKLINAS: Transisi Energi Harus Didukung Semua Pihak
Ramainya masyarakat yang datang di Solo, membuat orang banyak mengais rezeki di seputaran tempat hiburan tersebut. Di antaranya ialah penjaja wedangan yang berhenti di tepi jalan atau ujung gang sambil menunggu pembeli datang.
"Mereka rata-rata berasal dari pinggiran Surakarta, khususnya Klaten. Bayat (daerah di Klaten) adalah awal mula pemasok pedagang angkringan," tulis Eko.
Keramaian itu terus berlangsung dari malam hingga pagi hari, sehingga Solo dibilang sebagai kota yang tidak pernah tidur. Dan ternyata budaya wedangan tersebut masih terus berlangsung di Solo hingga seabad ini.