Inisiatif lainnya, lanjut Djoko, KPI akan mengembangkan produk turunan kilang, dan diperhatikan sampai betul-betul produk downstream, seperti untuk bahan baku ban maupun parafin.
Semua bahan baku ada di kilang untuk produk produk tersebut sampai pada end customer. KPI juga akan men-develop biorefinery, feedstock dari sawit.
Baca Juga:
Pertamina Patra Niaga Salurkan Bantuan ke 7 Posko Erupsi Gunung Lewotobi
“Ini dalam upaya mengantisipasi transisi energi, juga dalam rangka konversi apabila terjadi penurunan konsumsi BBM. Tentunya akan sangat mengurangi CAD (current account deficit) pemerintah apabila petrokimia bisa diproduksi dalam negeri,” kata Djoko.
Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis KPI, Joko Widi Wijayanto, mengatakan berdasarkan data Pertamina Energy Institute, bisnis fuel akan menghadapi tantangan dengan gross margin US$12 per barel dan spread gas oil di posisi 17.
Selain itu, kata Joko ada gross margin di produk petrokimia. Sementara harga minyak pada 2030 diperkirakan US$54 per barel.
Baca Juga:
Pertamina Manfaatkan Potensi Alam untuk Serap Karbon Lewat Dua Inisiatif Terintegrasi
Proteksi produk kimia berdasarkan dari Argus juga pada 2040 kapitalisasi konsumsi petrokimia US$2,6 miliar. Saat ini Indonesia defisit 3,2 juta ton per tahun. Dari polypropylene kapitalisasi nilai produk yang diperlukan sebesar US$5,9 miliar.
“Yang jelas saat ini ke depan bisnis BBM yang dikelola oleh refinery akan mengalami tantangan, yakni pergeseran demand akibat transisi energi dan gross margin masih tertekan,” kata Joko Widi.
Sedangkan, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengatakan Kementerian ESDM akan mendorong terus Pertamina menjalankan program mandatori biofuels berbasis hydrokarbon yang sudah tertuang dalam roadmap hingga 2030.