"COP26 menjadi harapan besar bagi banyak pihak, termasuk bagi para menteri keuangan hingga lembaga keuangan multilateral dalam menyelesaikan komitmen terkait penurunan emisi," ungkap dia.
Salah satu tema penting dalam COP26 adalah terkait peran pendanaan iklim.
Baca Juga:
Sambut Masa Tenang Pilkada Jakarta, KPU Jakbar Gelar Panggung Hiburan Rakyat
Negara maju wajib menyediakan sumber pendanaan untuk membantu negara berkembang mengambil tindakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Indonesia telah mendorong upaya agar negara maju dapat menunjukkan aksi nyata dukungan pendanaannya terhadap negara berkembang, sesuai dengan beberapa isu pembahasan di bawah agenda pendanaan iklim COP26, yakni pembiayaan jangka panjang, dengan negara maju akan memobilisasi dana sampai USD 100 miliar per tahun mulai 2020.
Ia menuturkan, Indonesia, khususnya Kemenkeu, telah mengawal pembahasan agenda ini dalam berbagai ruang, namun seiring dengan hal itu Indonesia akan terus melakukan aksi nyata dalam penurunan emisi.
Baca Juga:
Sekjen GEKIRA Partai Gerindra: Pemilukada Damai Bukti Rakyat Cerdas
"Prioritas utama penurunan emisi gas rumah kaca tersebut berada pada sektor kehutanan, sektor energi, dan transportasi. Ketiga sektor ini telah mencakup 97 persen dari total target penurunan emisi Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia," tutur Febrio.
Untuk mendukung hal tersebut, Indonesia melakukan penetapan nilai ekonomi karbon atau yang sering disebut carbon pricing melalui Peraturan Presiden mengenai Nilai Ekonomi Karbon (NEK), dengan skema utama yang meliputi perdagangan karbon, pungutan atas karbon, dan result-based payment.
Pemerintah juga secara nyata menunjukkan dukungan terhadap isu perubahan iklim melalui pengenalan pajak karbon dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang akan dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan perkembangan pemulihan ekonomi serta kesiapan sektor, dimulai dari sektor PLTU batu bara. [aas]