“Namun, proses transisi energi tidaklah dapat dicapai dengan singkat. Karena membutuhkan berbagai macam teknologi, biaya serta sumber daya manusia yang mampu memenuhi standar pemenuhan kebutuhan energi terbarukan,” jelasnya.
“Sementara, ketika proses transisi terjadi permintaan akan kebutuhan energi turut meningkat, sehingga ketahanan energi skala besar tetap harus dijaga,” sambung Nicke.
Baca Juga:
Pertamina Patra Niaga Salurkan Bantuan ke 7 Posko Erupsi Gunung Lewotobi
Lebih jauh ia mengatakan, Pertamina juga telah mengembangkan strategi untuk mendukung transisi energi dengan mengalokasikan biaya modal (capex) untuk energi rendah emisi dan pengembangan EBT.
“Kami telah menetapkan tujuan untuk meningkatkan porsi Bisnis Hijau dalam bauran pendapatan Pertamina dari 5 persen pada tahun 2022 menjadi 13 persen pada tahun 2030,” tegas Nicke saat menjelaskan detail mengenai porsi biaya modal untuk energi hijau.
Secara prediksi, kata dia, pendapatan dari bahan bakar fosil diperkirakan akan menurun secara signifikan dari 86 persen pada tahun 2022 menjadi 66 persen pada tahun 2040.
Baca Juga:
Pertamina Manfaatkan Potensi Alam untuk Serap Karbon Lewat Dua Inisiatif Terintegrasi
Tujuan dari optimisme alokasi modal tersebut telah dikoordinasikan dengan pemerintah Indonesia, dan memastikan bahwa hal tersebut telah selaras dengan target bauran energi Indonesia untuk energi baru terbarukan.
“Untuk mengimbangi pembiayaan, Pertamina juga telah meramu strategi investasi jangka panjang yang terdiri dari 14 persen Capex untuk aksi bisnis energi hijau, selain itu, Pertamina terus melanjutkan investasi pada bahan bakar fosil dan petrokimia sebagai tulang punggung bisnis saat ini, dalam upaya memastikan bahwa transisi energi tidak akan mengganggu ketahanan energi,” jelasnya.
Selain strategi penyertaan modal, lanjut Nicke, Pertamina juga berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk percepatan capaian target.